Jakarta, Sehatcantik.id – Di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis 23 Oktober 2025, suara Nikita Mirzani terdengar bergetar. Setelah jaksa penuntut umum (JPU) tetap bersikukuh menuntut hukuman 11 tahun penjara, Nikita membalas dengan nada getir: “Saya sudah capek jadi bulan-bulanan,” katanya, sebelum suaranya parau dan matanya basah.
Sidang dengan agenda pembacan duplik oleh Nikita itu menjadi babak baru dalam perkara dugaan pemerasan dan tindak pidana pencucian uang yang menyeret artis kontroversial itu. Setelah jaksa membacakan replik—jawaban atas nota pembelaan atau pleidoi Nikita—mereka bergeming dari tuntutan berat yang sebelumnya sudah dilayangkan dua pekan lalu: sebelas tahun penjara dan denda Rp2 miliar.
Namun Nikita memilih melawan. Ia menilai jaksa bukan sedang menegakkan hukum, melainkan menyerang pribadinya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia juga menegaskan dirinya tidak bersalah dalam dugaan pemerasan dan tindak pidana pencucian uang terhadap pemilik produk kecantikan Glafidsya, dr. Reza Gladys.
Dalam dupliknya, Nikita membantah tuduhan bahwa ia berupaya menyembunyikan asal-usul uang yang digunakan untuk membayar cicilan rumah kepada PT Bumi Parama Wisesa. “Bahwa tidak ada harta yang saya samarkan atau saya sembunyikan asal-usulnya, semuanya jelas,” kata Nikita di persidangan.
Nikita Mirzani menilai jaksa sudah tidak lagi fokus pada substansi perkara. Menurutnya, replik yang dibacakan JPU pada sidang sebelumnya lebih banyak berisi serangan yang bersifat personal terhadap dirinya dan tim kuasa hukumnya, alih-alih menanggapi nota pembelaan atau pleidoi yang telah ia sampaikan.
“Jaksa sudah kehabisan akal dan kehabisan argumentasi, sehingga dalam repliknya terlalu banyak menyerang pribadi saya dan khususnya menyerang pribadi penasihat hukum saya,” ujar Nikita.
Ibu tiga anak ini melanjutkan bahwa jaksa seharusnya memberikan bantahan yang berlandaskan fakta hukum terhadap pleidoinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, di mana jaksa dianggapnya tidak fokus dan gagal memahami materi pembelaan yang telah ia sampaikan bersama tim penasihat hukumnya.
“Jaksa punya masalah keluarga di rumah yang dibawa-bawa ke pengadilan, sehingga lebih fokus menyerang dengan membabi buta. Jaksa membangun narasi-narasi fiktif, merekayasa fakta-fakta persidangan, dan membuat banyak kebohongan dalam menyusun repliknya,” kata Nikita.
Selepas sidang, Nikita meneteskan air mata. Ia mengatakan sudah lelah menghadapi proses panjang ini dan hanya ingin kembali kepada anak-anaknya. “Saya cuma ingin ini cepat selesai. Saya rindu anak saya,” kata Nikita.
Publik, yang sejak awal mengikuti kasus ini dengan penuh rasa ingin tahu kini menunggu satu hal: putusan hakim. Majelis dijadwalkan membacakan vonis pada 28 Oktober 2025, dan di situlah nasib Nikita akan ditentukan—apakah ia akan menanggung tuntutan sebelas tahun penjara, atau ada celah keadilan yang membebaskannya.
Bagi Nikita, apapun hasilnya nanti, sidang Kamis itu sudah menjadi panggung emosional: perpaduan antara kelelahan, perlawanan, dan harapan yang masih tersisa. “Saya hanya minta keadilan,” ujarnya, menatap majelis hakim dengan mata sembab. (Sbw)













