Jakarta, Sehatcantik.id – Kasus keracunan demi keracunan yang terjadi berulang dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi sorotan banyak pihak, termasuk dari Komisi IX DPR RI.
Program unggulan pemerintahan Prabowo Subianto ini pun menjadi bahasan utama dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/10/2025). Anggota dewan memberikan apresiasi sekaligus catatan kritis terhadap tata kelola program tersebut.
Hadir dalam RDP ini petinggi lintas sektoral seperti Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, dan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN Wihaji.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pimpinan Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene, menilai BPOM di bawah kepemimpinan Prof. Taruna sudah bekerja komprehensif dari hulu ke hilir dalam pengawasan pangan MBG. Namun, ia mengingatkan tata kelola lintas kementerian dan lembaga masih banyak celah rawan yang menimbulkan masalah di lapangan.
“BPOM sudah memberi solusi, tapi kalau tata kelola tidak jelas, ini berbahaya. Dokumen Kemenkes bahkan menyebut penyederhanaan sertifikasi tanpa nomor induk, tanpa sertifikat, dan tanpa pencatatan di dinas. Itu sangat riskan,” tegas Felly.
Felly juga menyoroti mekanisme pelaporan kasus keracunan, kewenangan guru dan Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dalam menolak makanan rusak, hingga koordinasi antara Dinas Kesehatan dan BPOM.
Menurutnya, semua ini perlu dituangkan dalam regulasi yang mengikat.
BPOM Ungkap Titik Kritis MBG
Kepala BPOM Taruna Ikrar memaparkan secara detail titik kritis dalam penyelenggaraan MBG. Menurut Taruna, pengendalian bahaya, deteksi dini, dan tindakan korektif harus dilakukan di semua rantai pengolahan makanan, mulai dari penerimaan bahan baku hingga tahap konsumsi di sekolah.
“Titik kritis meliputi penerimaan bahan, penyimpanan, pengolahan sesuai standar, pemorsian, pengemasan, distribusi, konsumsi maksimal empat jam, hingga pencucian wadah makan. Semua harus diawasi,” jelas Taruna.
Dikatakan Taruna, Satuan Pelaksana Pemenuhan Gizi (SPPG) wajib memiliki fasilitas standard seperti lemari pendingin, genset portable, termometer suhu, senter UV, hingga test kit sanitasi. “Tanpa kelengkapan ini, sulit menjamin makanan benar-benar aman,” ujar Taruna
Irma Suryani Chaniago, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi NasDem menekankan pentingnya dukungan anggaran dan kontrol yang kuat dari BPOM serta Kemenkes agar program MBG berjalan efektif.
“Yang diukur bukan sekadar kenyang, tapi nilai gizinya. Anak-anak harus paham bahwa makanan yang mereka makan berguna bagi otak dan imunitas,” ujar Irma.
Irma juga meminta agar program ini tidak dipolitisasi. Ia bahkan menyarankan istilah “gratis” dihapus karena berkonotasi negatif.
Menurut Irma, kata gratis berkonotasi negatif. Padahal tujuan presiden membuat program makan bergizi ini sangat baik dan mulia untuk meningkatkan IQ anak.
“Makan bergizi gratis ini sebaiknya yang gratisnya itu dihapus, Pak. Makan bergizi saja. Nggak usah pake gratis karena konotasinya negatif,” ujar Irma.
“Karena apa? Karena niat dari presiden, niat dari pemerintah, memberikan ini kepada anak-anak bangsa ini adalah niat yang sangat baik. Yang sangat mulia untuk anak-anak bangsa ini punya IQ yang lebih tinggi dari yang ada sekarang,” imbuhnya.
MBG Perlu Payung Hukum
Mengingat pentingnya keberlanjutan MBG, Komisi IX menilai perlu kepastian hukum dan regulasi yang kokoh untuk memayunginya.
“Kalau bicara gizi, ini bukan hal baru. Jika program ini berhasil akan menyelesaikan 50% masalah gizi anak Indonesia. Namun dalam perjalanannya banyak lubang yang harus segera diperbaiki. Sebuah program hanya akan mendapat dukungan anggaran kalau payung hukumnya jelas,” ujar Netty.
Sementara itu, kepala BGN Dadan Hindayana memastikan BGN akan mengevaluasi tata kelola MBG supaya tak ada lagi temuan kasus keracunan di lapangan. Menurut Dadan, sebanyak 6.517 orang mengalami keracunan MBG sejak program tersebut diluncurkan pada Januari 2025. Dadan menyebut keracunan terbanyak terjadi di Pulau Jawa sebanyak 45 kasus.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memaparkan adanha sejumlah temuan yang menjadi penyebab keracunan paket MBG. Setidaknya, menurut Budi, ada sejumlah bakteri hingga virus yang menjadi penyebab, salah satunya salmonela hingga Escherichia coli.
“Jadi dari hasil penelitian epidemiologi dari seluruh SPPG yang kita lihat ada keracunan, ini adalah penyebab-penyebabnya secara medis. Jadi ada yang bakteri, ada beberapa itu virus, dan ini kimia,” ungkap Budi Gunadi dalam RDP.
Dalam presentasi yang dipaparkan, Budi merinci daftar bakteri dan virus ituz yakni:
Bakteri
1. Salmonela
2. Escherichia coli
3. Bacillus cereus
4. Staphylococcus aureus
5. Clostridium perfringens
6. Listeria monocytogenes
7. Campylobacter jejuni
8. Shigella
Virus
1. Norovirus/rotavirus
2. Hepatitis A virus
Kimia
1. Nitrit
2. Scombrotoxin (histamine)
“Jadi saya kira hak ini harus kita berikan dan kita akan perbaiki tata kelolanya sebaik mungkin, sehingga apa yang diberikan oleh pemerintah itu aman untuk dikonsumsi,” kata Dadan seraya menegaskan program MBG ini akan diteruskan. “Insyaallah (MBG tetap jalan),” tambah Dadan.
Sejauh ini, memang belum ada langkah konkret yang bisa menjaga keamanan pangan MBG dengan tingkat kesalahan nol, sehingga masih banyak pekerjaan rumah terkait regulasi, tata kelola, dan anggaran. Rancangan Perpres yang memuat peran BPOM baru akan mendapat anggaran pada tahun 2026. (Sbw)
Danu Baharuddin dan Novan S berkontribusi pada artikel ini.