Jakarta, Sehatcantik.id – Apabila dilakukan tanpa pendamping, setiap pasien berhak untuk menolak pemeriksaan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lawan jenis.
Hal itu dikemukakan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Azhar Jaya, terkait maraknya kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan sejumlah tenaga medis di berbagai wilayah.
“Setiap ruangan tindakan itu sudah dipampang SOP, apa tindakan yang dilakukan, alurnya apa. Ini perlu kita sosialisasikan lebih jauh,” kata Azhar Jaya, dalam temu media di Kemenkes, Senin (21/4/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurur Azhar, ketentuan dalam prosedur standar operasional sudah menyatakan secara jelas bahwa tidak diperbolehkan ada interaksi medis satu lawan satu antara dokter dan pasien yang berbeda jenis kelamin, tanpa kehadiran pendamping.
“Ketika dilakukan tindakan, nggak boleh lawan jenis seorang diri itu sudah jelas. Pasien boleh menolak ketika dia merasa tidak aman saat dilakukan suatu tindakan,” lanjut Azhar.
Dikatakan Azhar, prinsip ini penting demi mencegah praktik malpraktik maupun potensi pelecehan seksual yang bisa saja terjadi dalam ruang tindakan tertutup.
“Semua pasien berhak menolak kalau dia merasa tidak aman, contohnya perempuan hanya satu orang di dalam, dia bisa bertanya, ‘Mau dokter, suster, kenapa sendiri?” Azhar memberi contoh.
“SOP-nya enggak boleh sendiri. Terlebih lagi untuk lawan jenis. Ini oknum kemudian ada niat jahat, lebih-lebih ada ruang kosong jadi terjadi hal yang tidak diinginkan,” tambah Azhar.
Belakangan ini, publik geram atas beberapa kasus pelecehan yang melibatkan tenaga medis.
Satu di antaranya, melibatkan seorang dokter kandungan bernama Syafril Firdaus yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap pasien.
Dugaan ini diperkuat dengan munculnya laporan dari korban-korban lain setelah kasusnya viral.
Selain itu, seorang dokter residen anestesi bernama Priguna Anugerah Pratama yang tengah menjalani pendidikan profesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin juga diduga melakukan pemerkosaan terhadap anak dari pasien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit tersebut.
Menkes: Perlu Perbaikan Serius di RS
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang hadir secara daring menekankan perlu adanya perbaikan yang serius di rumah sakit pendidikan, terlebih PPDS yang saat belajar memang harus diawasi oleh gurunya. “Jadi, tidak boleh dia dilepas begitu saja, nanti kami akan perketat,” kata Budi.
Menurut Budin, para peserta PPDS kerap diarahkan oleh senior, bukan konsulen. Sementara di banyak negara lain, PPDS diajarkan langsung oleh konsulen yang merupakan dokter spesialis profesional.
Budi pun menemukan, di banyak rumah sakit di Indonesia, pekerjaan dokter anestesi dapat dilakukan langsung oleh PPDS anestesi, yang masih dalam tahap belajar untuk menjadi spesialis anestesi.
“Ini sangat buruk untuk patient safety (keamanan pasien) dan kejadian ini terjadi, saya serius akan memperbaiki cara kerja dokter-dokter anestesi,” kata Budi.
Budi juga menerangkan, di berbagai negara dokter anestesi bekerja dengan memerhatikan keamanan pasien. Dokter anestesi terus mendampingi pasien sejak disuntikkannya obat bius hingga selesai operasi.
“Di seluruh dunia, demi keamanan pasien, sejak pasien masuk ke ruang operasi sampai keluar itu dokter anestesinya harus selalu ada di situ. Karena ya kalau terjadi apa-apa pasiennya bisa celaka.”
Sayangnya, menurut Budi, di Indonesia tidak demikian. Ketika pasien sudah tak sadar, dokter malah keluar.
“Di Indonesia ternyata praktiknya banyak yang keluar, begitu sudah tidur langsung keluar itu dokter anestesinya. Jadi praktik-praktik seperti ini sangat berbahaya dan tidak memenuhi standar base practices,” ucap Budi.
Hal ini ia temukan saat melakukan pembekuan sementara pada Prodi Anestesi RS Kariadi dan RSHS.
“Dan saya dengar ini terjadi hampir di seluruh rumah sakit pendidikan. Jadi yang mengerjakan pekerjaan dokter anestesi adalah PPDS-nya, adalah muridnya, jadi sangat berbahaya. Jadi saya akan sangat serius memperbaiki pengawasannya,” pungkas Budi.
Itulah sebabnya, Kemenkes berharap, seluruh fasilitas layanan kesehatan menerapkan SOP secara ketat dan melakukan pengawasan berlapis agar insiden serupa tidak terulang.
Sosialisasi kepada masyarakat tentang hak-hak pasien pun dinilai perlu terus digencarkan. (Sbw)