Jakarta, Sehatcantik.id – Taiwan Food and Drug Administration (TFDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Taiwan merilis temuan terdeteksinya pestisida etilen oksida (EtO) dalam bungkus bubuk penyedap sebesar 0,1 mg/kg di produk mi instan merek Indomie varian rasa Soto Banjar Limau Kulit, produksi PT. Indofood CBP Sukses Makmur TBK.
Dalam rilis yang diumumkan pada laman resminya, Selasa (9/9/2025), TFDA mengungkapkan bahwa jumlah standard yang dapat ditoleransi untuk etilen oksida, tidak boleh terdeteksi dan harus berada di bawah batas kuantitatif 0,1 mg/kg. Berdasarkan kebijakan di Taiwan, produk Indomie varian Rasa Soto Banjar Limau Kulit tidak sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Keamanan Pangan dan Sanitasi.
Atas temuan itu, otoritas Taiwan akan mengembalikan atau memusnahkan produk Indomie yang memiliki batas kedaluwarsa 19 Maret 2026 tersebut, sesuai peraturan berlaku.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak cuma Taiwan, otoritas keamanan pangan Hongkong, Centre for Food Safety (CFS), juga mengambil langkah antisipatif atas temuan pestisida di produk Indomie dimaksud.
“Satu batch produk Indomie yang berasal dari Indonesia ditemukan mengandung residu pestisida, etilen oksida, pada tingkat yang tidak memenuhi standard Taiwan,” tulis pernyataan CFS.
CFS juga mengimbau konsumen yang telah membeli produk dengan batch tersebut untuk tidak mengonsumsinya dan segera membuangnya.
Bisa Memicu Kanker
Menurut pakar biokimia Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya) Baterun Kunsah, etilen oksida merupakan gas yang lazim digunakan sebagai agen sterilisasi dalam industri, terutama pada rempah-rempah, kemasan, atau bahan pangan tertentu.
Dikatakan, meski bermanfaat untuk sterilisasi, EtO dilarang penggunaannya secara langsung dalam pangan karena berpotensi membahayakan kesehatan.
“EtO pada makanan biasanya ditemukan sebagai residu, misalnya dari proses sterilisasi rempah, kacang-kacangan, mi instan, hingga produk es krim. Jika masuk ke tubuh, zat ini dimetabolisme menjadi etilen glikol dan produk turunan lain, lalu diekskresikan melalui urin atau napas. Walau waktu paruhnya dalam darah manusia hanya sekitar 42 menit, paparan tinggi dan berulang dapat menimbulkan stres oksidatif yang merusak sel dan DNA,” papar Kunsah Jumat (12/9/25), seperti dilansir dalam laman resmi um-surabaya.acid.id, yang dikutip Sehatcantik.id.
Baterun menegaskan, dampak kesehatan dari paparan jangka panjang etilen oksida sangat serius.
“EtO termasuk karsinogen golongan 1 menurut WHO, artinya sudah pasti dapat menyebabkan kanker pada manusia. Risiko yang ditimbulkan antara lain kanker darah seperti leukemia dan limfoma, kanker payudara, gangguan reproduksi hingga keguguran. Pada paparan tinggi, efek akut juga bisa muncul berupa mual, muntah, diare, sakit kepala, iritasi kulit, bahkan luka bakar organ,” imbuh Kunsah lagi.
Ia menambahkan, individu dengan sistem antioksidan tubuh yang lemah berisiko lebih besar mengalami kerusakan genetik akibat paparan EtO.
“Karena itu, masyarakat perlu lebih waspada terhadap keamanan pangan, sementara produsen diharapkan semakin ketat menjaga standar kualitas untuk melindungi konsumen,”pungkasnya.
Sikap BPOM RI
Terkait dengan temuan di Taiwan tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, mengungkapkan bahwa p<span;>roduk tersebut bukan merupakan ekspor secara resmi dari produsen ke Taiwan.
“Ekspor produk diduga dilakukan oleh trader dan bukan importir resmi dari produsen serta diekspor tanpa sepengetahuan produsen. Saat ini, produsen sedang melakukan penelusuran bahan baku yang digunakan serta penyebab terjadinya temuan. Hasil penelusuran akan dilaporkan segera kepada BPOM,” tulis BPOM dalam penjelasan publik resminya yang dikutip Sehatcantik.id, Jumat (12/9/2025).
BPOM mengungkapkakn, temuan ini terjadi karena Taiwan menerapkan kadar EtO total harus tidak terdeteksi dalam produk pangan.
“Standard ini berbeda dengan standar beberapa negara lain, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Indonesia yang memisahkan batasan syarat untuk EtO dengan 2-kloroetanol (2-CE) sebagai analitnya dan bukan sebagai batasan EtO total. Sampai saat ini, Codex Alimentarius Commission (CAC) sebagai organisasi internasional di bawah WHO/FAO belum mengatur batas maksimal residu EtO,” tambah BPOM.
Untuk itu, BPOM akan terus berkoordinasi dengan otoritas kompeten di Taiwan serta pihak lain yang terkait untuk menindaklanjuti dan memantau perkembangan hal ini.
“Berdasarkan hasil penelusuran pada data registrasi BPOM, produk dengan varian tersebut telah memiliki izin edar BPOM sehingga dapat beredar di Indonesia dan tetap dapat dikonsumsi,” urai BPOM.
BPOM mengimbau masyarakat untuk bijak dalam menyikapi informasi ini. Namun, BPOM mengharapkan masyarakat tetap cerdas sebagai konsumen dan selalu menerapkan Cek KLIK (Cek Kemasan, Label, Izin edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli atau mengonsumsi produk pangan olahan.
BPOM juga mengimbau masyarakat untuk membaca informasi nilai gizi dan takaran saji pangan olahan yang tercantum pada kemasan. (Sbw)