Jakarta, Sehatcantik.id –
Malaria adalah salah satu penyakit yang mematikan di dunia. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah tropis seperti indonesia.
Menjelang pergelaran Malaria Summit ke-9 Asia Pasifik 2025, yang akan digelar pada 16-17 Juni 2025 di Bali, Kementerian Kesehatan RI menaruh perhatian penuh pada kasus-kasus malaria di tanah air. “Unity in Action Towards Zero Malaria” menjadi tema besar dalam pertemuan pemimpin negara Asia Pasifik tersebut.
Asia Pacific Leader’s Summit on Malaria Elimination merupakan platform regional yang bertujuan mempercepat pencapaian eliminasi Malaria di wilayah Asia Pasifik pada tahun 2030.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kendala Elimimasi Malaria di Indonesia
Penyakit malaria disebabkan oleh infeksi parasit plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina, yang beredar pada petang sampai pagi hari. Parasit ini akan menetap di organ hati, berkembang biak, kemudian menyerang sel-sel darah merah.
Malaria tidak ditularkan melalui kontak langsung dari orang ke orang, melainkan gigitan nyamuk. Namun, malaria bisa juga ditularkan dari ibu kepada bayi dalam kandungannya, jarum suntik, tranfusi darah, dan transplantasi organ.
Menurut Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Ina Agustina Isturinin, tingginya kasus malaria di Indonesia merupakan masalah kompleks yang masih sulit dieliminasi. Itulah sebabnya, pemerintah terus berupaya mengatasi penyakit ini demi mewujudkan Indonesia bebas malaria.
Setidaknya, dikatakan Ina dalam diskusi menjelang Malaria Summit Asia Pasifik 2025 yang digelar secara daring dan diikuti Sehatcantik.id, Kamis (12/6), ada empat kendala dalam penanggulangan malaria di Indonesia.
Kendala pertama adalah tingginya konsentrasi kasus di wilayah Papua. Ina mengungkap, lebih dari 90% kasus malaria nasional tercatat di Papua dan sistem deteksi kasus di wilayah tersebut masih lemah.
“Permasalahannya, temuan kasus sangat rendah. Pada tahun 2024, hanya 54% dari estimasi kasus yang berhasil ditemukan. Meskipun ini sudah meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya yang bahkan di bawah 40%,” kata Ina.
Kendala kedua berasal dari populasi berpindah atau mobile migrant population (MMP), seperti pekerja hutan, buruh perkebunan, suku anak dalam, hingga pengungsi. Kelompok ini sering berpindah di wilayah dengan risiko penularan tinggi, sehingga pengawasan dan pengobatan tidak bisa dilakukan secara konsisten.

Data Kemenkes, dari total sekitar 500.000 kasus malaria pada 2024, hampir 100.000 di antaranya ditemukan pada populasi berpindah tersebut. Akibatnya, meski suatu wilayah sudah tergolong endemis rendah, keberadaan MMP dapat menghambat proses sertifikasi bebas malaria.
“Mereka berada di daerah yang receptive malaria artinya tinggi transmisinya, dan berpindah-pindah sehingga menyulitkan upaya eliminasi,” ujar Ina.
Kendala ketiga adalah kejadian luar biasa (KLB) malaria yang masih dapat terjadi di wilayah yang sebelumnya dinyatakan bebas. Contohnya kasus malaria yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir pada 2024, meskipun daerah itu telah mendapat status eliminasi.
Situasi tersebut menuntut kewaspadaan secara berkelanjutan, karena jika tidak ditangani dengan cepat, kasus-kasus tersebut dapat memicu status darurat bencana.
Kendala keempat adalah malaria yang ditularkan dari hewan, khususnya oleh parasit Plasmodium knowlesi.
Parasit ini hidup di tubuh monyet dan bisa menular ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles yang sebelumnya menggigit monyet terinfeksi. Transmisi tersebut menambah pengendalian malaria bertambah kompleks karena melibatkan interaksi antara manusia, hewan, dan lingkungan.
“Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand menghadapi tantangan baru akibat meningkatnya kasus malaria zoonotik,” kata Ina lagi.
Untuk menjawab kompleksitas tersebut, Ina menekankan pentingnya pendekatan One Health yang mengintegrasikan aspek antara manusia, lingkungan, dan hewan dalam penanganan malaria. Meskipun saat ini tercatat 407 kabupaten/kota telah bebas malaria, ia menyebut sinergi lintas sektor nyatanya masih belum optimal.
“Terutama terkait kesehatan lingkungan dan pengendalian vektor,” tandasnya.
Perhatian Khusus Malaria di Papua
Sejauh ini, Kemenkes memprioritaskan upaya pengentasan atau eliminasi malaria di tanah Papua, mengingat tingginya jumlah kasus penyakit yang disebabkan oleh parasit protozoa plasmodium itu di wilayah tersebut.
“Yang memang harus kita lakukan adalah percepatan penurunan kasus di Papua. Lebih dari sembilan puluh persen kasus itu ada di Papua,” kata Ina.
Ina lalu menyampaikan sebanyak 93 persen atau 508.120 kasus malaria di tanah air berasal dari Papua, yang meliputi Provinsi Papua, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.
Sebagai daerah prioritas, Kemenkes lantas menjalankan sejumlah upaya untuk mengeliminasi kasus malaria di Papua, di antaranya, mengintegrasikan skrining malaria ke dalam program Cek Kesehatan Gratis (CKG).
“Jadi ini salah satu pintu masuk (Cek Kesehatan Gratis). Kami melakukan screening lebih banyak lagi,” ujar Ina.
Kemenkes juga memperbanyak jumlah kader yang bertugas melakukan tes malaria dan memberikan obat kepada pasien secara langsung. Selain itu, Kemenkes terus mengupayakan perbaikan lingkungan dan pengendalian vektor melalui kolaborasi dengan pihak swasta.
Perbaikan lingkungan ditujukan untuk mengubah atau memperbaiki kondisi lingkungan agar tidak mendukung perkembangbiakan nyamuk vektor malaria, yakni nyamuk Anopheles betina sekaligus mengurangi kontak antara manusia dan nyamuk.
Sementara itu, terkait dengan vektor, penanganan malaria yang merujuk pada upaya pengendalian dan pemutusan siklus hidup nyamuk pembawa parasit malaria, yaitu nyamuk Anopheles betina.
Secara lebih luas, Kemenkes juga akan menjalin kerja sama dengan Papua Nugini dalam eliminasi malaria, mengingat negara tersebut berbatasan dengan provinsi-provinsi di Papua.
Kerja sama itu akan diperkuat sejalan dengan penyelenggaraan Asia Pacific Leaders’ Summit on Malaria Elimination 2025 nanti di Bali, yang akan dihadiri pula oleh Menteri Kesehatan Papua Nugini Elias Kapavore. (sbw)