Ini Dia Tujuh Provinsi dengan Tuberkulosis Tertinggi di Indonesia
Jakarta, Sehatcantik.id – Kementerian Kesehatan melaporkan jumlah kasus Tuberkulosis (TB/TBC) di wilayah Indonesia diperkirakan ada sekitar satu juta kasus TB pada 2024, dengan 125 ribu kematian.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Ina Agustina Isturini, mengungkapkan, wilayah yang paling banyak adalah Pulau Jawa.
“Sekitar tujuh provinsi yang TB-nya tinggi. Kalau yang tertinggi ada di Jawa, kecuali Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, kemudian di Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan,” ujar Ina dalam konferensi pers, Senin (24/3/2025), bertepatan dengan peringatan Hari Tuberkulosis se-Dunia.
Sampai Maret 2025, Kemenkes sudah menemukan sekitar 81%. “Sudah ada 889.113 kasus hingga maret ini,” tambahnya.
Dikatakan, beberapa upaya strategis dilakukan untuk meminimalisir penyakit ini semakin tinggi. Namun, ia juga menemukan banyak sekali tantangan atau hambatan.
“Adanya under dan delay reporting. Lalu terlambat atau tidak terdiagnosis. Ini bisa karena nakes-nya atau dalam mengakses alat diagnostiknya. Serta investigasi kontak belum optimal,” tambah Ina.
Sejarah Hari TB se-Dunia
Setiap 24 Maret, dunia memperingati Hari Tuberkulosis (TB), untuk meningkatkan kesadaran global tentang bahaya penyakit ini. Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan pengumuman ilmuwan Jerman, Robert Koch, pada tahun 1882.
Seperti dilansir WHO, Koch mengumumkan penemuan Mycobacterium tuberculosis, bakteri penyebab TB. Bakteri tersebut menyebar secara bertahap di paru-paru, membentuk benjolan keras (tuberkel) atau massa bertekstur lunak.
Benjolan tersebut merusak jaringan pernapasan dan menciptakan rongga di dalam paru-paru. Penyakit ini juga dapat merusak pembuluh darah, sehingga penderita dapat mengalami batuk berdarah dengan warna merah cerah.
Hari Tuberkolusis Sedunia diperingati pertama kali pada 1982 sebagai respons terhadap meningkatnya angka kejadian Tuberkolusis secara global pada dekade 1980-an. Sebelumnya, penyakit ini sempat berada pada titik terendah selama hampir dua dekade.
Penyebaran kembali TB di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa faktor tersebut termasuk meningkatnya perjalanan internasional, migrasi, dan kasus HIV/AIDS.
Melihat kondisi ini, WHO menetapkan Hari Tuberkolusis Sedunia untuk menarik perhatian global terhadap upaya pemberantasan TB. Awalnya, peringatan ini disponsori oleh WHO dengan dukungan dari berbagai organisasi kesehatan lainnya.
Namun, upaya awal WHO tidak cukup untuk menghentikan penyebaran TB, terutama di negara-negara berkembang. Di Afrika, kasus TB terus meningkat setiap tahunnya sepanjang 1990-an, melansir dari Britannica.
Melihat situasi ini, WHO bersama organisasi pendukungnya meningkatkan kampanye kesadaran serta mendorong lebih banyak pendanaan untuk memerangi TB. Akibat dari upaya ini, angka kejadian TB mulai stabil pada awal 2000-an.
Meskipun demikian, setiap tahunnya masih ada antara 1,5 hingga 2 juta orang yang meninggal akibat penyakit ini. Tantangan baru muncul dengan berkembangnya strain TB yang resistan terhadap obat.
Infeksi TB jenis ini memerlukan pengobatan dengan berbagai jenis obat yang sering kali mahal dan sulit diakses.
Oleh karena itu, Hari Tuberkolusis Sedunia menjadi momen untuk menghubungkan peneliti, lembaga pendanaan, serta tenaga kesehatan dalam upaya memerangi TB.
Sejak akhir 1990-an, Stop TB Partnership menjadi sponsor utama Hari Tuberkolusis Sedunia. Organisasi ini terdiri dari jaringan lembaga kesehatan nasional dan internasional yang bekerja sama dalam penanganan TB.
Tujuan utamanya adalah meningkatkan kesadaran global, mencegah penyebaran TB, dan mengembangkan pengobatan yang lebih efektif. WHO menjadi pendukung utama Stop TB Partnership, bersama lembaga lain seperti Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat. (Sbw)