Taruna Ikrar Ingatkan Ancaman Silent Pandemic Akibat Kebal Antimikroba

- Jurnalis

Senin, 6 Januari 2025 - 20:59 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kepala BPOM RI Taruna Ikrar menyampaikan orasi ilmiah bertema Ancaman Silent Pandemic Akibat Resistansi Antimikroba. (Foto: Dok.Taruna Ikrar)

Kepala BPOM RI Taruna Ikrar menyampaikan orasi ilmiah bertema Ancaman Silent Pandemic Akibat Resistansi Antimikroba. (Foto: Dok.Taruna Ikrar)

Medan, Sehatcantik.id – Kepala BPOM RI Taruna Ikrar menyampaikan orasi ilmiah bertema Ancaman Silent Pandemic Akibat Resistansi Antimikroba. Orasi ilmiah ini dipaparkan Taruna pada rangkaian kegiatan penganugerahan gelar ilmuan berpengaruh di Indonesia dari Unpri Medan Kepala BPOM RI Taruna Ikrar di Ballroom Universitas Prima Indonesia (Unpri) Medan, Sumatra Utara, Sabtu (4/1/2025).

Penghargaan gelar ilmuan berpengaruh di Indonesia tersebut diserahkan langsung oleh Rektor Unpri Crismis Novalinda Ginting kepada Taruna Ikrar.

“Silent pandemic atau resistansi antibiotik pada tubuh seseorang yang diakibatkan oleh antimikroba menjadi ancaman serius dunia. Resistansi antimikroba kini menjadi fenomena biologis kompleks yang mengancam kemampuan manusia dalam mengendalikan mikroorganisme berbahaya,” urai Taruna dalam orasi ilmiahnya.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lebih lanjut, Taruna yang merupakan alumni Fakultas Kedokteran Unhas telah menyelesaikan magister biomediknya dengan spesialisasi Farmakologi di Universitas Indonesia pada 2003 ini menjelaskan bahwa resistansi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme mengembangkan kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang bahkan ketika di bawah paparan obat antimikroba yang sebelumnya efektif membunuh mereka.

Spektrum mikroorganisme yang berpotensi menjadi resisten sangatlah luas seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit. Fenomena resistansi antimikroba tidak dapat dipandang sebagai kejadian yang terisolasi, melainkan sebagai proses evolusioner kompleks yang melibatkan seleksi alam dan adaptasi genetik.

“Setiap kali mikroorganisme terpapar agen antimikroba, terjadi seleksi ketat di mana organisme yang memiliki keunggulan genetik untuk bertahan akan melangsungkan kehidupan dan reproduksi,” urai Taruna.

Bakteri dapat mengalami mutasi genetik dalam hitungan menit, memungkinkan mereka secara cepat mengembangkan mekanisme pertahanan melawan zat antimikroba yang semula efektif membunuh mereka. Setiap kelompok memiliki karakteristik unik dalam menghadapi tantangan antimikroba. Bakteri merupakan contoh paling nyata, dengan kemampuan horizontal gene transfer yang memungkinkan mereka berbagi informasi genetik resistansi antarspesies.

Fenomena ini memungkinkan penyebaran cepat kemampuan bertahan melawan antimikroba. Bahkan, di antara bakteri yang secara taksonomi berbeda. Proses ini merupakan manifestasi nyata dari evolusi biologis, di mana organisme secara genetis beradaptasi untuk bertahan hidup menghadapi tantangan lingkungan.

Konsep resistansi antimikroba bermula dari pemahaman dasar interaksi antara mikroorganisme dan zat antimikroba. Ketika suatu antibiotik diperkenalkan, pada awalnya obat tersebut mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan mayoritas populasi mikroba.

Namun, di antara populasi tersebut, terdapat beberapa individu yang memiliki variasi genetik unik yang memungkinkan mereka bertahan. Mikroba-mikroba yang memiliki gen resistansi ini tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang biak, menciptakan generasi baru yang secara genetis lebih tahan terhadap antimikroba.

Mekanisme terjadinya resistansi antimikroba sangat beragam dan canggih. Bakteri dapat mengembangkan resistansi melalui beberapa strategi genetik. Pertama, bakteri dapat memodifikasi struktur molekul yang menjadi target obat, sehingga antimikroba tidak lagi mampu berikatan atau mengganggu fungsi sel bakteri.

Kedua, bakteri dapat mengembangkan enzim yang mampu merusak atau memodifikasi struktur molekul obat sebelum obat tersebut dapat memberikan efek. Ketiga, mereka dapat mengembangkan pompa efluks, yaitu mekanisme yang secara aktif mengeluarkan molekul obat dari dalam sel sebelum obat dapat memberikan efek terapeutik.

Baca Juga :  Perawatan Filler Wajah, Apakah Aman?

Taruna yang merupakan mantan Spesialis Laboratorium di Departemen Anatomi dan Neurobiologi Universitas California ini menjelaskan bahwa sejak penemuan antibiotik pertama oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, umat manusia telah mengalami revolusi dalam kemampuan mengatasi penyakit infeksius.

Namun seriring beralannya waktu, mikroorganisme telah mengembangkan mekanisme pertahanan yang canggih sehingga membuat tantangan pengobatan semakin rumit dan memerlukan pendekatan strategis yang berkelanjutan.

Meskipun awalnya dianggap sebagai terobosan medis yang revolusioner, dalam waktu singkat bakteri Staphylococcus aureus telah menunjukkan resistansi terhadap penisilin. Pada dekade 1940-an dan 1950-an, penggunaan antibiotik secara massif dalam bidang kedokteran dan peternakan semakin massif.

Salah satu tonggak penting dalam pemahaman resistansi antimikroba terjadi pada 1962, ketika para ilmuwan mulai memahami mekanisme transfer gen resistansi antarbakteri melalui plasmid. Mekanisme ini memungkinkan mikroba untuk saling berbagi informasi genetik yang memungkinkan mereka bertahan dari serangan antimikroba, bahkan lintas spesies. Hal ini semakin meningkatkan dinamika kompleksitas penyebaran resistansi.

Kebal Antibiotik Ancaman Global

Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, resistansi antimikroba berkembang menjadi ancaman global. Munculnya multi-drug resistant (MDR) strain, seperti methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan kuman tuberculosis resistan obat, menjadi bukti nyata bahwa mikroorganisme telah mengembangkan mekanisme pertahanannya yang sangat canggih. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mulai mengkategorikan resistansi antimikroba sebagai salah satu kesehatan global terbesar, mengingat potensinya mengacaukan sistem pengobatan modern.

Taruna Ikrar bersama keluarga usai terima anugerah gelar ilmuan berpengaruh di Indonesia dari Unpri Medan. (Foto: Dok. Taruna Ikrar)

Dalam orasi tersebut, Taruna juga menguraikan beberapa faktor pendorong resistansi. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional baik dalam bidang kesehatan manusia maupun peternakan, menjadi faktor pendorong utama. Faktor ini telah menciptakan tekanan yang mendorong evolusi percepatan mikroorganisme. Ketika antibiotik digunakan secara berlebihan atau tidak tepat, hal ini menciptakan tekanan seleksi yang kuat bagi mikroorganisme untuk beradaptasi dan berkembang. Selain itu, globalisasi, perpindahan penduduk, dan perdagangan global semakin mempercepat penyebaran strain resistan lintas wilayah dan benua.

“Upaya mengatasi resistansi antimikroba memerlukan strategi komprehensif yang tidak hanya berfokus pada pengembangan obat baru, tetapi juga pada perubahan perilaku dan sistem,” jelas Taruna.

Penanganan ini membutuhkan pendekatan multidisipliner yang melibatkan mikrobiologi, genetika, epidemiologi, kebijakan kesehatan, dan kesadaran masyarakat. Penelitian di bidang resistansi antimikroba di masa depan akan semakin difokuskan pada pendekatan inovatif seperti terapi fago. Terapi fago adalah terapi menggunakan bakteriofage yang dapat membunuh bakteri secara spesifik menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan.

Faktor antropogenik memainkan peran krusial dalam akselerasi resistansi antimikroba. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional di bidang kesehatan manusia, peternakan, dan pertanian telah menciptakan tekanan yang mendorong evolusi percepatan mikroorganisme.

“Pemberian antibiotik dalam dosis sub-terapi, praktik pengobatan mandiri, serta penggunaan antibiotik spektrum luas telah memberikan keuntungan selektif bagi mikroorganisme yang resistan untuk berkembang dan menggantikan populasi yang sensitif,” kata Taruna.

Pentingnya memahami resistansi antimikroba tidak berlebihan karena bukan sekadar fenomena medis, melainkan tantangan multidisipliner yang memerlukan kerja sama lintas bidang dari mikrobiologi, kedokteran, farmakologi, hingga kebijakan kesehatan publik. Setiap intervensi harus mempertimbangkan kompleksitas biologis, sosial, dan ekologis yang terlibat dalam proses ini.

Baca Juga :  Mycoplasma Pneumoniae Treatment, Tips Mengatasinya

Kesadaran global terhadap resistansi antimikroba terus meningkat. Organisasi internasional, pemerintah nasional, institusi penelitian, dan komunitas medis semakin memahami bahwa penanganan resistansi antimikroba memerlukan pendekatan komprehensif, proaktif, dan berkelanjutan. Strategi yang efektif tidak hanya bergantung pada pengembangan antimikroba baru, tetapi juga pada manajemen penggunaan yang bijak, peningkatan praktik pencegahan infeksi, dan edukasi komprehensif.

Di Indonesia, resistansi antimikroba memiliki dimensi kompleks yang dipengaruhi oleh faktor geografis, demografis, dan sistem kesehatan. Sebagai negara dengan keragaman ekologis dan praktik kesehatan yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengendalikan penyebaran mikroorganisme resistan.  Untuk itu, diperlukan strategi nasional yang adaptif, berbasis riset, dan mempertimbangkan konteks lokal.

Dampak ekonomi dari resistansi antimikroba sangatlah signifikan dan berpotensi menimbulkan krisis global yang mengancam fundamental sistem pelayanan kesehatan di seluruh dunia.

Fenomena ini tidak hanya memengaruhi kemampuan medis dalam menangani penyakit menular, tetapi juga mengancam seluruh arsitektur kemajuan pengobatan yang telah dibangun selama satu abad terakhir.

Berdasarkan data Bank Dunia, pada tahun 2050 diperkirakan kerugian ekonomi global akibat resistansi antimikroba dapat mencapai 100 triliun dolar atau setara dengan hilangnya 3,8% produk domestik bruto global. Aspek kesehatan masyarakat akibat resistansi antimikroba jauh lebih kompleks daripada sekadar statistik.

Setiap kali satu spesies mikroba menjadi resistan terhadap pengobatan, maka tidak hanya mengancam individu yang terinfeksi tetapi juga menciptakan reservoir genetik potensi bahaya bagi seluruh populasi.

“Negara-negara berkembang akan paling parah terkena dampaknya, dengan potensi jatuhnya jutaan penduduk ke dalam lingkaran kemiskinan akibat biaya pengobatan yang membengkak dan hilangnya produktivitas tenaga kerja,” papar Taruna.

Rumah sakit dan fasilitas kesehatan akan dipaksa harus mengembangkan protokol pengobatan alternatif yang jauh lebih mahal dan kompleks. Prosedur medis yang saat ini dianggap rutin seperti operasi caesar, penggantian sendi, atau kemoterapi akan menjadi prosedur berisiko tinggi dengan potensi komplikasi infeksi yang signifikan.

Proyeksi World Health Organization (WHO) pada tahun 2050, diperkirakan 10 juta nyawa akan hilang setiap tahun akibat angka infeksi resistansi yang melampaui kematian karena  kanker. Hal ini  menuntut perhatian dan bukan sekadar prediksi statistik, melainkan peringatan keras tentang potensi keruntuhan sistem kesehatan global. Setiap tahun penundaan penanganan serius akan semakin memperbesar risiko bencana kesehatan global. Hal inilah yang menjadikan resistansi antimikroba merupakan silent pandemic bagi seluruh dunia.

“Respon internasional menjadi kunci dalam mengatasi krisis resistansi antimikroba. Dibutuhkan kolaborasi lintas negara, lintas sektor, dan lintas disiplin ilmu. Tidak hanya diperlukan riset pengembangan obat baru, tetapi juga transformasi menyeluruh dalam praktik penggunaan antimikroba di bidang kesehatan, pertanian, dan peternakan. Setiap negara, institusi, dan individu memiliki peran strategis dalam mencegah eskalasi krisis ini,“ ujar Taruna.(sbw)

Berita Terkait

BPJS Tak Tanggung Biaya 21 Jenis Penyakit dan 5 Macam Operasi Ini
Kemenkes Konfirmasi Tujuh Pasien Covid-19 di Indonesia Telah Pulih
Ini Dia Cara Cegah Heat Stroke saat Puncak Haji
Tersebar di 22 Negara, WHO Pantau Varian Baru Covid-19
Penyebab Kematian Terbanyak Bukan Hewan Buas, tapi Nyamuk
Terinfeksi Judol, Komdigi Blokir Situs Peduli Lindungi
BPOM Dukung Pendirian Pabrik Farmasi Kemenhan
Taruna Ikrar Sesalkan BPOM Tak Dilibatkan Progam MBG

Berita Terkait

Kamis, 5 Juni 2025 - 13:28 WIB

BPJS Tak Tanggung Biaya 21 Jenis Penyakit dan 5 Macam Operasi Ini

Rabu, 4 Juni 2025 - 23:06 WIB

Kemenkes Konfirmasi Tujuh Pasien Covid-19 di Indonesia Telah Pulih

Senin, 2 Juni 2025 - 16:34 WIB

Ini Dia Cara Cegah Heat Stroke saat Puncak Haji

Minggu, 1 Juni 2025 - 10:59 WIB

Tersebar di 22 Negara, WHO Pantau Varian Baru Covid-19

Jumat, 23 Mei 2025 - 16:40 WIB

Terinfeksi Judol, Komdigi Blokir Situs Peduli Lindungi

Berita Terbaru

Haji

Ini Dia Cara Cegah Heat Stroke saat Puncak Haji

Senin, 2 Jun 2025 - 16:34 WIB

Berita

Tersebar di 22 Negara, WHO Pantau Varian Baru Covid-19

Minggu, 1 Jun 2025 - 10:59 WIB